Startup Unicorn dan Decacorn: Bagaimana Mereka Berkontribusi untuk Negeri?
Oleh: Salsabila Hesa Khalilah (AE46)
Abstrak
Fenomena munculnya perusahaan rintisan dengan valuasi tinggi, yang dikenal sebagai unicorn dan decacorn, menjadi penanda penting dalam perkembangan kewirausahaan digital di Indonesia. Kehadiran mereka tidak hanya berdampak pada perubahan pola konsumsi dan gaya hidup masyarakat, tetapi juga pada transformasi sistem ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan pemberdayaan pelaku usaha kecil. Artikel ini menelaah peran unicorn dan decacorn melalui kerangka konseptual kewirausahaan multidimensi, meninjau perjalanan sejarah kewirausahaan hingga era digital, menganalisis kompetensi utama yang dimiliki wirausaha sukses, serta menguraikan kontribusi strategis startup tersebut pada level makro, meso, dan mikro. Dengan menyoroti contoh konkret dari Gojek, Tokopedia, dan Traveloka, tulisan ini menunjukkan bagaimana inovasi digital mampu memperkuat daya saing nasional sekaligus menghadapi tantangan keberlanjutan.
Kata kunci: kewirausahaan, startup, unicorn, decacorn, ekonomi digital.
Pendahuluan
Dalam satu dekade terakhir, Indonesia menjadi salah satu pusat pertumbuhan startup teknologi di Asia Tenggara. Istilah unicorn merujuk pada perusahaan rintisan dengan valuasi di atas 1 miliar dolar AS, sedangkan decacorn untuk valuasi lebih dari 10 miliar dolar AS. Kehadiran perusahaan ini seperti Gojek, Tokopedia, dan Traveloka, bukan hanya fenomena bisnis semata, melainkan juga bagian dari dinamika pembangunan ekonomi. Mereka mengubah cara masyarakat bekerja, berbelanja, bertransaksi, hingga mengakses layanan transportasi. Dari sisi akademik, fenomena ini menarik dikaji dalam perspektif kewirausahaan, baik dari dimensi ekonomi, psikologis, maupun manajerial. Pertanyaan pentingnya adalah: sejauh mana unicorn dan decacorn benar-benar berkontribusi untuk negeri?
Permasalahan
Artikel ini berusaha menjawab beberapa pertanyaan berikut:
-
Bagaimana startup unicorn dan decacorn dipahami melalui kerangka konseptual kewirausahaan?
-
Apa posisi unicorn dan decacorn dalam konteks evolusi kewirausahaan dari masa pra-industri hingga era digital?
-
Kompetensi apa saja yang dimiliki pendiri startup sehingga mampu membawa perusahaan mencapai level global?
-
Bagaimana kontribusi strategis unicorn dan decacorn pada tingkat makroekonomi, industri, dan masyarakat?
Pembahasan
1. Kerangka Konseptual Kewirausahaan
Unicorn dan decacorn merupakan bukti nyata bahwa kewirausahaan bersifat multidimensi. Dari sisi ekonomi, mengutip teori Schumpeter (1934), mereka bertindak sebagai agen creative destruction, menggantikan model konvensional seperti transportasi tradisional dengan layanan berbasis aplikasi, serta ritel fisik dengan e-commerce. Dari perspektif psikologis, teori McClelland (1961) tentang kebutuhan akan pencapaian (n-Ach) tampak jelas pada pendiri startup yang memiliki ambisi tinggi, berani mengambil risiko, dan tidak mudah menyerah pada ketidakpastian. Sedangkan menurut pandangan manajemen ala Drucker (1985), para wirausahawan ini berhasil mengubah peluang teknologi menjadi nilai usaha konkret melalui inovasi model bisnis, strategi pasar, dan eksekusi venture. Lingkup kewirausahaan mereka pun luas, meliputi identifikasi peluang, akuisisi modal, hingga membangun ekosistem lintas sektor, khususnya di bidang teknologi, jasa, dan keuangan digital.
2. Evolusi Historis Kewirausahaan
Kehadiran unicorn dan decacorn tidak bisa dilepaskan dari perjalanan panjang kewirausahaan. Pada era pra-industri, wirausaha terbatas pada pedagang antarwilayah dan pengrajin lokal. Revolusi industri membawa perubahan besar dengan hadirnya mesin uap, pabrik, dan produksi massal. Era industri modern kemudian memunculkan perusahaan multinasional, sistem manajemen profesional, dan model bisnis seperti franchising. Transformasi berlanjut ke era digital yang ditandai dengan revolusi internet, kecerdasan buatan, serta ekosistem platform. Pada konteks ini, unicorn Indonesia seperti Tokopedia dan Traveloka tumbuh berkat penetrasi internet dan digitalisasi masyarakat. Kehadiran Gojek sebagai decacorn menegaskan bahwa data, jaringan, dan teknologi merupakan sumber daya utama baru yang menggeser dominasi modal fisik tradisional. Dengan kata lain, startup saat ini adalah kelanjutan sejarah panjang kewirausahaan yang semakin berskala global.
3. Profil Kompetensi Wirausaha Sukses
Keberhasilan unicorn dan decacorn tidak terlepas dari kompetensi pendiri dan tim mereka. Visionary thinking memungkinkan para pendiri seperti Nadiem Makarim membayangkan sistem transportasi terintegrasi dalam satu aplikasi. Resiliensi dan adaptabilitas juga penting, karena mereka harus menghadapi regulasi ketat, persaingan global, hingga tantangan pandemi COVID-19. Kompetensi teknis seperti literasi digital dan pemanfaatan big data menjadi kunci dalam menghadirkan layanan yang personal dan efisien. Selain itu, kompetensi lintas budaya juga menentukan, terutama bagi startup yang melakukan ekspansi ke pasar Asia Tenggara, seperti Grab dan Gojek. Dengan kombinasi tersebut, wirausaha digital mampu mengembangkan perusahaan dari ide kecil hingga valuasi miliaran dolar.
4. Kontribusi Strategis Kewirausahaan
Kontribusi unicorn dan decacorn dapat dilihat pada tiga tingkatan. Pada level makro, mereka meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mendorong investasi asing, dan memperluas penciptaan lapangan kerja. Data Kementerian Koperasi dan UKM mencatat bahwa startup berperan penting dalam menyerap jutaan tenaga kerja secara langsung maupun tidak langsung. Pada level meso, startup meningkatkan daya saing industri dengan mendorong digitalisasi. Tokopedia, misalnya, telah memberdayakan jutaan UMKM untuk berjualan secara online. Pada level mikro, startup memberi dampak langsung bagi masyarakat: layanan transportasi menjadi lebih mudah (Gojek), belanja lebih praktis (Shopee, Tokopedia), dan akses perjalanan lebih cepat (Traveloka). Selain itu, model gig economy juga memberi peluang usaha bagi masyarakat yang sebelumnya sulit mengakses lapangan kerja formal. Dengan demikian, startup unicorn dan decacorn tidak hanya menjadi “raksasa bisnis,” tetapi juga aktor penting dalam pembangunan ekonomi inklusif.
Studi Kasus dan Contoh
1. Gojek (Decacorn Indonesia)
Gojek lahir dari kebutuhan sederhana: mempermudah layanan transportasi ojek yang sebelumnya informal dan sulit diakses. Dengan memanfaatkan aplikasi digital, Gojek berhasil merevolusi transportasi perkotaan di Indonesia.
-
Kontribusi Makro: Menjadi salah satu startup dengan valuasi terbesar di Asia Tenggara, Gojek menarik investasi asing yang memperkuat posisi Indonesia dalam ekonomi digital global.
-
Kontribusi Meso: Membuka peluang bagi UMKM melalui layanan GoFood dan GoPay, sehingga pedagang kecil dapat menjangkau konsumen luas tanpa perlu modal besar.
-
Kontribusi Mikro: Ratusan ribu driver ojek online mendapatkan sumber penghasilan baru, sementara masyarakat merasakan kemudahan transportasi, pesan makanan, hingga transaksi digital.
-
Tantangan: Gojek menghadapi isu kesejahteraan mitra driver yang sering menuntut keadilan terkait insentif dan perlindungan sosial.
2. Tokopedia (Unicorn → Merger jadi GoTo)
Tokopedia dimulai sebagai marketplace yang menghubungkan penjual kecil dengan pembeli di seluruh Indonesia.
-
Kontribusi Makro: Membantu pertumbuhan e-commerce nasional yang kini menjadi salah satu motor perekonomian digital.
-
Kontribusi Meso: Memberdayakan jutaan UMKM untuk naik kelas dengan sistem penjualan daring.
-
Kontribusi Mikro: Memudahkan masyarakat dalam berbelanja produk dari berbagai daerah, bahkan sampai ke pelosok.
-
Tantangan: Persaingan ketat dengan Shopee, Lazada, dan e-commerce global, serta tekanan untuk mencapai profitabilitas.
Kesimpulan
Unicorn dan decacorn di Indonesia adalah representasi nyata dari kewirausahaan digital yang berkembang pesat. Mereka menjawab kebutuhan masyarakat modern sekaligus membuka peluang baru dalam ekonomi nasional. Dari kerangka konseptual, startup ini menggabungkan kreativitas, inovasi, dan keberanian mengambil risiko. Secara historis, mereka adalah kelanjutan dari evolusi kewirausahaan global, namun dengan ciri khas lokal yang menyesuaikan kebutuhan Indonesia. Kompetensi pendiri startup menjadi faktor penting yang memungkinkan perusahaan bertahan dan tumbuh di tengah ketidakpastian. Kontribusinya pun jelas terlihat, mulai dari tingkat makroekonomi, meso industri, hingga mikro masyarakat.
Saran
Pemerintah perlu memperkuat regulasi yang mendukung inovasi tanpa menghambat kreativitas. Startup harus lebih menekankan aspek keberlanjutan dan profitabilitas agar tidak hanya mengejar valuasi, melainkan juga stabilitas jangka panjang. Di sisi lain, masyarakat dan UMKM sebaiknya terus memanfaatkan platform digital untuk meningkatkan daya saing. Dengan kolaborasi yang kuat antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat, ekosistem unicorn dan decacorn akan semakin matang dan memberi kontribusi nyata bagi negeri.
Daftar Pustaka
-
Drucker, P. F. (1985). Innovation and Entrepreneurship. New York: Harper & Row.
-
McClelland, D. C. (1961). The Achieving Society. Princeton: Van Nostrand.
-
Schumpeter, J. A. (1934). The Theory of Economic Development. Cambridge, MA: Harvard University Press.
-
Kementerian Koperasi dan UKM Republik Indonesia. (2021). Data dan Kontribusi Startup terhadap Perekonomian Nasional. Jakarta: Kemenkop UKM.
-
Siregar, F. (2020). “Peran Startup Unicorn dalam Ekonomi Digital Indonesia.” Jurnal Ekonomi dan Bisnis Digital Indonesia, 3(2), 45–58.
-
Pratama, A. (2022). “Ekosistem Startup dan Tantangan Keberlanjutan di Indonesia.” Jurnal Manajemen Teknologi, 21(1), 1–15.

Komentar
Posting Komentar